KERAJAAN MATARAM ISLAM
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kerajaan Mataram Islam merupakan
salah satu kerajaan islam terbersar yang ada ditanah air khususnya di pulau
jawa. Kerajaan Mataram adalah kerajaan Islam terbesar di Jawa yang hingga kini
masih mampu bertahan melewati masa-masa berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda
di Indonesia, walaupun dalam wujud yang berbeda dengan terbaginya kerajaan ini
menjadi empat pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan
Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Sebelumnya memang ada
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa (Tengah) yang lain yang mendahului, seperti
Demak dan Pajang. Namun sejak runtuhnya dua kerajaan itu, Mataramlah yang
hingga puluhan tahun tetap eksis dan memiliki banyak kisah dan mitos yang
selalu menyertai perkembangannya. Paling tidak Mataram berkembang dengan
diringi oleh mitos perebutan kekuasaan yang panjang. Karena itu informasi
tentang kerajaan mataram islam tidak begitu sulit kita dapat karena himgga saat
ini kerajaan tersebut masih eksis di tanah Jawa walaupun dengan konteks yang
berbeda.
B.
TUJUAN
Karya ini disusun bertujuan untuk mengulas
kembali tentang kerajaan Mataram Islam yang ada di Pulau Jawa, khususnya di
Jawa Tengah. Juga untuk memberikan gambaran bagaimana keadaan kehidupan
masyarakat Jawa Tengah pada masa kerajaan Mataram Islam, bagaimana kehidupan
social, budaya, maupun politiknya.
BAB II
ISI
A.
BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun
1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di
Kotagede. Awal berdirinya yaitu setelah kerajaan Demak runtuh, kerajaan Pajang
merupakan satu-satunya kerajaan di Jawa Tengah. Namun demikian raja Pajang
masih mempunyai musuh yang kuat yang berusaha menghancurkan kerajaannya, ialah
seorang yang masih keturunan keluarga kerajaan Demak yang bernama Arya
Penangsang. Raja kemudian membuat sebuah sayembara bahwa barang siapa
mengalahkan Arya Penangsang atau dapat membunuhnya, akan diberi hadiah tanah di
Pati dan Mataram. Ki Pemanahan dan Ki Penjawi yang merupakan abdi prajurit
Pajang berniat untuk mengikuti sayembara tersebut. Di dalam peperangan akhirnya
Danang Sutwijaya berhasil mengalahkan dan membunuh Arya Penangsang. Sutawijaya
adalah anak dari Ki Pemanahan, dan anak angkat dari raja Pajang sendiri. Namun
karena Sutawijaya adalah anak angkat Sultan sendiri maka tidak mungkin apabila
Ki Pemanahan memberitahukannya kepada Sultan Adiwijaya. Sehingga Kyai Juru
Martani mengusulkan agar Ki Pemanahan dan Ki Penjawi memberitahukan kepada
Sultan bahwa merekalah yang membunuh Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan
memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.
Pemanahan berhasil membangun hutan
Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan
kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan
meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga
sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil
memberontak kepada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya
mengangkat diri sebagai raja Mataram
dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah
bagian dari Mataram yang
beribukota di Kotagede. Senopati bertahta sampai wafatnya pada tahun 1601.
Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan
bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri,
Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya.
Panembahan Senopati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.
B.
LETAK KERAJAAN MATARAM ISLAM
Gambar : Wilayah
Mataram Islam
Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat
kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede.
Dalam sejarah Islam, Kerajaan Mataram Islam memiliki peran yang cukup penting
dalam perjalanan secara kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Hal ini terlihat
dari semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengIslamkan para
penduduk daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga
pengembangan kebudayaan yang bercorak Islam di jawa. Dinasti Mataram Islam sesungguhnya berawal dari keluarga
petani, begitulah yang tertulis pada Babad Tanah Jawi. Kisahnya
Ki Gede Pamanahan mendirikan desa
kecil di Alas Mentaok (alas= hutan) yang kemudian menjadi sebuah kota yang
semakin ramai dan makmur hingga disebut Kota Gede (kota besar). Disana lalu di
bangun benteng dalam (cepuri) yangmengelilingi kraton dan benteng luar
(baluwarti) yang mengelilingi wilayah kota seluas ± 200 ha. Sisi luar kedua
benteng ini juga di lengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai.
Wilayah kekuasaan Mataram mencapai
Jawa Barat (kecuali Banten), Jawa Tengah, Jawa Timur, Sukadana
(Kalimantan Selatan), Nusa Tenggara. Palembang dan Jambi pun menyatakan vasal
kepada Mataram.
C.
SISTEM PEMERINTAHAN MATARAM ISLAM
Setelah Panembahan Senopati
meninggal kekuasaannya digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau
Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-1613),
tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah taman Danalaya di
sebelah barat kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau meninggal di hutan
Krapyak ketika beliau sedang berburu. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang,
yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di bawah pemerintahannya (tahun
1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede
dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung juga menaklukkan daerah pesisir
supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Beliau juga merupakan
penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC yang pada saat itu sudah
menguasai Batavia. Karya Sultan Agung dalam bidang kebudayaan adalah Grebeg
Pasa dan Grebeg Maulud. Sultan Agung meninggal pada tahun 1645
Ia diganti oleh putranya yang
bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya.
Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan banyak
pembunuhan dan kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta.
Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan
bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan
Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya)
melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum,
(dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Ia digantikan oleh putra mahkota
yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan
Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi
mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh
Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki
perjanjian yang berisi: Mataram
harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Setelah Sunan Amangkuat II meninggal
meninggal pada tahun 1703, Ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sunan Mas
(Sunan Amangkurat III). Dia juga sangat menentang VOC. Karena pertentangan
tersebut VOC tidak setuju atas pengangkatan Sunan Amangkurat III sehingga VOC
mengangkat Paku Buwono I (Pangeran Puger). Pecahlah perang saudara (perang
perebutan mahkota I) antara Amangkurat III dan Paku Buwana I, namun Amangkurt
III menyerah dan dibuang ke Sailan oleh VOC. Paku Buwana I meninggal tahun 1719
dan diganti oleh Amangkurat IV (1719-1727). Dalam pemerintahannya dipenuhi
dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dalam hal ini VOC
kembali turut andil di dalamnya. Sehingga kembali pecah perang Perebutan
Mahkota II (1719-1723. Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV meninggal tahun 1727
dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi
pemberontakan China terhadap VOC.
Paku Buwana II memihak China dan
turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat
bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak
China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak
kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang
bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan
diri ke Panaraga.
Dengan bantuan VOC kraton dapat
direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk
memindahkan kraton ke Surakarta (1744). Setelah itu terjadi pemberontakan yang
dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku Buwana menugaskan Mangkubumi untuk menumpas
kaum pemerontak dengan janji akan memberikan tanah di Sukowati (Sragen
sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil tetapi Paku Buwono II mengingkari
janjinya sehingga akhirnya dia berdamai dengan Mas Said. Mereka berdua pun
melakukan pemberontakan bersama-sama hingga pecah Perang Perebutan Mahkota III
(1747-1755).
Paku Buwana II tidak dapat
menghadapi kekuatan merea berdua dan akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada
tahun 1749. Setelah kematian Paku Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana III.
Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah
yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun
justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal
ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari
Batavia (utusan itu diakukan VOC dari Tanah Suci) untuk mengajak Mangkubumi
berdamai.
Ajakan itu diterima Mangkubumi dan
terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian
Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran
Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan Kraton
di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai
saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri
Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku
Buwana III. Raja-Raja
Mataram Islam :
1. Panembahan Senopati (1584-1601 M)
2. Mas Jolang atau Seda Ing Krapyak
(1601- 1613 M)
3. Mas Rangsang bergelar Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1646 M)
4. Amangkurat I (1646- 1676 M)
5. Amangkurat II dikenal juga sebagai
Sunan Amral (1677- 1703 M)
6. Sunan Mas atau Amangkurat III pada
1703 M)
7. Pangeran Puger yang bergelar Paku
Buwana I (1703-1719 M)
8. Amangkurat IVdikenal sebagai Sunan
Prabu (1719-1727 M)
9. Paku Buwana II (1727-1749 M)
10. Paku
Buwana III pada 1749 M pengangkatannya dilakukan oleh VOC.
11. Sultan
Agung.
D.
KEHIDUPAN EKONOMI MATARAM ISLAM
Letak kerajaan Mataram di pedalaman,
maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan
mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap
diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah
pesisir. Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan. Dalam
bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di
Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di
samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang
perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor
karena pada abad ke-17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat
itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung
oleh hasil bumi Mataram yang besar.
E.
KEHIDUPAN POLITIK MATARAM
ISLAM
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun
(1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah
seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya
untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram terwujud, Sutawijaya
digantikan oleh putranya yaitu Mas
Jolang yang bergelar Sultan
Anyakrawati tahun 1601 – 1613.
Sebagai raja Mataram ia juga
berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk
memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan
diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal
tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan
Sedo Krapyak. Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman,
yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar dari
kerajaan ini. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia
seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana.
Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau
Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten. daerah-daerah tersebut
dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara
adipati-adipati dengan putri-putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah
dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai
daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari
Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia
pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan.
Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari
pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk
berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat.
Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung
padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan
Mataram kekurangan bahan makanan. Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar
wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum
sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di
samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan
Mataram.
F.
KEHIDUPAN SOSIAL DAN BUDAYA MATARAM ISLAM
Sebagai kerajaan yang bersifat
agraris, masyarakat Mataram disusun berdasarkan sistem feodal. Dengan sistem
tersebut maka raja adalah pemilik tanah kerajaan beserta isinya. Untuk
melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pegawai dan keluarga
istana, yang mendapatkan upah atau gaji berupa tanah lungguh atau tanah
garapan. Tanah lungguh tersebut dikelola oleh kepala desa (bekel) dan yang
menggarapnya atau mengerjakannya adalah rakyat atau petani penggarap dengan
membayar pajak/sewa tanah. Dengan adanya sistem feodalisme tersebut,
menyebabkan lahirnya tuan-tuan tanah di Jawa yang sangat berkuasa terhadap
tanah-tanah yang dikuasainya. Sultan memiliki kedudukan yang tinggi juga dikenal
sebagai panatagama yaitu pengatur kehidupan keagamaan. Sedangkan dalam bidang
kebudayaan, seni ukir, lukis, hias dan patung serta seni sastra berkembang
pesat. Hal ini terlihat dari kreasi para seniman dalam pembuatan gapura,
ukiran-ukiran di istana maupun tempat ibadah. Contohnya gapura Candi Bentar di
makam Sunan Tembayat (Klaten) diperkirakan dibuat pada masa Sultan Agung.
Contoh lain hasil perpaduan budaya Hindu-Budha-Islam adalah penggunaan kalender
Jawa, adanya kitab filsafat sastra gending dan kitab undang-undang yang disebut
Surya Alam. Contoh-contoh tersebut merupakan hasil karya dari Sultan Agung
sendiri. Di samping itu juga adanya upacara Grebeg pada hari-hari besar Islam
yang ditandai berupa kenduri Gunungan yang dibuat dari berbagai makanan maupun
hasil bumi. Upacara Grebeg tersebut merupakan tradisi sejak zaman Majapahit
sebagai tanda terhadap pemujaan nenek moyang.
G.
TERPECAHNYA MATARAM
ISLAM
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta.
Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan"
(dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan
Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada
masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga
dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral),
sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan pemberontakan
terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura (1680), sekitar 5km sebelah barat
Pajang karena kraton yang lama dianggap telah tercemar.
Pengganti Amangkurat II
berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719),
Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in
exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat
diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi
dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakarta
dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari lokasi
penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era Mataram sebagai satu
kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa
beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta adalah "ahli waris" dari
Kesultanan Mataram.
H. USAHA-USAHA
MATARAM ISLAM DALAM PERLUASAN WILAYAH
Mataram
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung. Wilayah Mataram
bertambah luas meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.
Sultan Agung di samping dikenal sebagai raaja juga pemimpin agama. Kehidupan
beragama mendapat perhatian dan pengembangan yang sangat pesat. Sultan Agung
dikenal juga sebagai pahlawan nasional karena perannya dalam mengusir penjajah
Belanda. Pengaruh Mataram saampai ke Palembang, Jambi, Banjarmasin, dan ke
timur sampai Gowa Makasar. Pengaruh ini ditandai adanya hubungan kerja sama dan
saling mengirim utusan antara daerah-daerah tersebut dengan Mataram. Kemajuan
yang dicapai pada masa pemerintahan Sultan Agung meliputi kemajuan di bidang
politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
·
Bidang Politik
Kemajuan
politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
Penyatuan
kerajaan-kerajaan Islam
Sultan
Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha ini dimulai
dengan menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang, Pasuruhan,
kemudian Surabaya. Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islam di Pulau
Jawa ini ada yang dilakukan dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil
menantu Bupati Surabaya Pangeran Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu
Wandansari.
Anti
penjajah Belanda
Sultan
Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti
dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan
yang kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan. Adapun
penyebab kegagalannya, antara lain:
Ø Jarak yang terlalu jauh berakibat
mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus menempuh jalan kaki selama
satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
Ø Kekurangan dukungan logistik
menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia menjadi lemah.
Ø Kalah dalam sistem persenjataan
dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba modern.
Ø Banyak prajurit Mataram yang
terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin memperlemah kekuatan.
Ø Portugis bersedia membantu Mataram
dengan menyerang Batavia lewat laut, sedangkan Mataram lewat darat. Ternyata
Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai Belanda tanpa bantuan
Portugis.
Ø Kesalahan politik Sultan Agung yang
tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam menyerang Belanda. Waktu itu
mereka saling bersaing.
Ø Sistem koordinasi yang kurang kompak
antara angkatan laut dengan angkatan darat. Ternyata angkatan laut mengadakan
penyerangan lebih awalm sehingga rencana penyerangan Mataram ini diketahui
Belanda.
Ø Akibat penghianatan oleh salah
seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini diketahui Belanda sebelumnya.
·
Bidang Ekonomi
Kemajuan
dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:
Ø Sebagai
negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan memanfaatkan
beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan pemindahan
penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan
irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke
Malaka.
Ø Penyatuan
kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan politik,
tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata
tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.
· Bidang Sosial Budaya
Kemajuan
dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:
Ø Timbulnya
kebudayaan kejawen
Unsur ini
merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa dengan Islam.
Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang.
Kemudian, dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Saampai kini, di jawa kita
kenal sebagai Grebeg Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.
Ø Perhitungan
Tarikh Jawa
Sultan Agung
berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram menggunakan tarikh
Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah). Sejak tahun 1633 M
(1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan
(tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan
baru berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian
dikenal sebagai “tahun Jawa”.
Ø Berkembangnya
Kesusastraan Jawa
Pada zaman
kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, termasuk di
dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul
Sastra Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.
Kitab-kitab yang lain adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab
ini berisi tentang ajaran-ajaran budi pekerti yang baik.
Pengaruh Mataram mulai memudar
setelah Sultan Agung meninggal pada tahun 1645 M. Selanjutnya, Mataram pecah
menjadi dua, sebagaimana isi Perjanian Giyanti (1755) berikut:
·
Mataram Timur yang dikenal Kesunanan
Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III dengan pusat pemerintahan di
Surakarta.
·
Mataram Barat yang dikenal dengan
Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku
Buwono I dengan pusat pemerintahannya di Yogyakarta.
Perkembangan berikutnya, Kesunanan
Surakarta pecah menjadi dua yaitu Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian
Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta juga terbagi atas Kesultanan dan Paku
Alaman. Perpecahan ini terjadi karena campur tangan Belanda dalam usahanya
memperlemah kekuatan Mataram, sehingga mudah untuk di kuasai.
I.
KERUNTUHAN MATARAM ISLAM
Sultan
Agung tidak mempunyai pengganti yang mumpuni sepeninggalnya. Putra mahkota
sangat bertolak belakang sifat dan kepribadiannya dengan sang ayah.
Kegemarannya pada kehidupan keduniawian telah mendorongnya ke jurang kehancuran
kerajaan. Maka dimulailah pemerintahannya sebagai raja Mataram bergelar Sunan
Amangkurat I (1646-1677).
Raja ini
mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan para pendahulunya. Gaya pemerintahannya
cenderung lalim, tidak suka bergaul (terasing) dan terlalu curiga dengan semua
orang. Para pejabat di zaman pemerintahan ayahnya dihabisi dengan bengis, entah
dengan hukuman cekik sampai mati untuk perkara-perkara yang sudah diatur
(jebakan) atau dengan cara dikorbankan menjadi memimpin armada perang ke luar
Mataram.
Hubungan
antar kerabat pun tidak berjalan baik. Bahkan dengan putra mahkotanya, Sunan
Amangkurat I terlibat bersaing dalam urusan wanita pilihan sebagai istri.
Kejadian ini memunculkan tragedi berupa tewasnya mertua dan saudara-saudara
raja. Karena putra mahkota didukung oleh kakeknya, P. Pekik (mertua Amangkurat
I) untuk menikahi seorang gadis cantik bernama Rara Oyi, putri Ngabehi
Mangunjaya dari tepi Kali Mas Surabaya. P. Pekik berasal dari Surabaya
terlibat membantu putra mahkota yang merupakan saingan sang raja dalam
perebutan putri tersebut.
Kebengisan
sunan dapat dilacak dari catatan pejabat Belanda maupun dalam babad Jawa.Banyak
kejadian tidak masuk akal pada pemerintahannya. Pernah sang raja mengatur
pembunuhan untuk adiknya, P. Alit. Karena sang adik dihasut para pangeran
di kerajaan untuk menuntut tahta. Bahkan raja pernah melakukan genocide
terhadap lima ribu ulama.
Sifat
bengis sunan ini telah menimbulkan sikap anti pati dan ketakutan rakyatnya.
Oleh sebab itu ketika terjadi serbuan dari kelompok P. Trunajaya dari Madura,
raja tidak mampu menangkisnya. Karena rakyat bersatu padu menyerang istana.
Sunan Amangkurat I menyingkir hingga meninggal karena sakit dalam pelariannya
di Wanayasa, Banyumas utara. Konon pula, untuk mempercepat kematiannya, putra
mahkota yang kelak menjadi Amangkurat II memberi sebutir pil racun pada sang
ayah. Amangkurat I dimakamkan di Tegalwangi, dekat dengan gurunya yaitu
Tumenggung Danupaya.
Bagaimanapun buruknya
Amangkurat I, beliau tetap mempunyai karya besar. Dalam bidang
arsitektur, sunan membuat istana baru di Plered (selatan Kuta Gede) dengan
konsep pulau ditengah laut. Pembangunan istana Mataram tersebut dilandasi oleh
sifatnya yang tidak mau kalah dengan keberhasilan sang ayah.
Untuk
pekerjaan ini, sunan mengerahkan para penduduk hingga luar ibu kota agar
membuat batu bata sebagai tembok kraton dan membendung sungai Opak menjadi
danau besar. Utusan VOC, Rijklof van Goens mencatat bahwa ia sangat takjub
dengan kraton Plered yang seolah-olah mengapung di lautan. Untuk mencapai
alun-alun sebelum ke istana, orang harus melewati jembatan batang yang dibangun
permanen.
Wafatnya
Amangkurat I, membuat Putra mahkota mempunyai modal besar menggantikan tahta
Mataram. Dengan bekal pusaka-pusaka kerajaan, beliau berusaha mengusir
gerakan Trunajaya dengan meminta dukungan VOC. Putra mahkota naik tahta
bergelar Sunan Amangkurat II (1677-1703).
Ibu kota
Mataram dipindah, bergerak ke timur di Kartasura. Karena P. Puger (adik
Amangkurat II) tetap berdiam di istana Plered, setelah Amangkurat I wafat.
Beliau berpendapat bahwa dirinya yang berhak atas tahta Mataram.
Karena dirinya yang mendapat wahyu dari sang ayah (Amangkurat I) bukan
putra mahkota (Amangkurat II). Kejadian tersebut ketika P. Puger menunggui ajal
sang ayah.
Namun
akhirnya P. Puger mengakui kekuasaan Amangkurat II di Kartasura tahun 1680.
setelah terjadi pertikaian alot. Meskipun pada masa-masa sesudahnya, P. Puger
tetap membara semangatnya untuk mencapai tahta Mataram. Kelak akhirnya sang
pangeran bertahta sebagai Sunan Paku Buwana I.
Pemerintahan
Amangkurat II (1677-1703) di Kartasura dibangun dengan dukungan penuh VOC. Oleh
karena itu, dirinya terikat dengan segala macam permintaan VOC. Di sisi lain,
sang raja sangat melindungi para pejuang dalam melakukan perlawanan terhadap
VOC, diantaranya adalah Untung Suropati. Ia merupakan mantan perwira VOC
yang akhirnya memusuhi resimennya karena tindakannya yang sewenang-wenang.
Ketika VOC
meminta sang raja untuk menyambut Kapten Tack di Kartasura, muncullah
ambivalensinya. Meskipun Kapten Tack ini sangat berjasa dengan berhasil
membunuh P. Trunajaya di Kediri, namun karena sifatnya yang arogan di mata
sang raja, maka Amangkurat II sangat membenci Kapten Tack. Apalagi
kedatangannya ke kraton Mataram adalah untuk mengusir gerakan Untung Suropati.
Untuk
menutupi sikap ambivalensinya, Amangkurat II menyambut baik kedatangan Kapten
Tack di depan istana Kartasura. Namun, beliau telah mengatur siasat dengan
pasukan Suropati untuk menyamar sebagai prajurit Mataram. Tiba-tiba
terjadi huru hara di saat Kapten Tack datang di istana yang menyebabkan
dirinya terbunuh (Feb 1686). Sayang, tindakan sunan tersebut diketahui oleh
sang adik, P. Puger. Kelak beliau menunjukkan bukti-bukti kuat kepada VOC
soal keterlibatan sang raja dalam peristiwa itu. Inilah senjata ampuh P. Puger
dalam mendongkel tahta keturunan Sunan Amangkurat II.
Dalam
kehidupan seni budaya, dukungan kuat VOC telah mempengaruhi
Amangkurat II untuk menerapkan etiket Eropa di dalam istana. Tata cara
adat sembah untuk menghormat raja mulai diubah tidak dengan cara duduk bersila,
melainkan dengan berdiri tegak lurus tangan dan kaki, topi diletakkan di
lengan. Ini berlaku bagi orang-orang Eropa. Bahkan mereka diperkenankan duduk
di bangku, bukan duduk bersila di lantai seperti layaknya pada pejabat Mataram.
Inilah revolusi sosial yang mulai berlaku di istana Mataram.
Ketika
Amangkurat II wafat, tahta Mataram masih diteruskan oleh putra mahkota bergelar
Amangkurat III (1703-1708). Raja ini juga menggalang persahabatan dengan Untung
Suropati, seperti ayahnya. Sementara itu, di istana terjadi konflik lama. Sang
paman, P. Puger tetap ngotot menginginkan tahta. Dengan bukti-bukti kuat
keterlibatan Amangkurat II dan III soal wafatnya Kapten Tack, maka P. Puger
dinaikkan tahta sebagai raja Mataram oleh VOC, bergelar Sunan Paku Buwana I
(1704-1719). Beliau bertahta di Semarang.
Amangkurat
III diserang oleh VOC dan Sunan PB I. Beliau melarikan diri ke Jawa Timur,
akhirnya dapat ditawan VOC (1708) kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Sunan PB I
kemudian bertahta di Kartasura. Masa-masa pemerintahannya dibayar mahal dengan
menyerahkan daerah-daerah pesisir kepada VOC. Suatu kesalahan besar. Karena
sumber pendapatan Mataram berkurang drastis. Ianilah yang memancing konflik
intern berkepanjangan.
Kondisi
kerajaan tidak pernah stabil. Para pangeran merasa bahwa pengaruh dan kebijakan
VOC sangat menancap di Mataram. Terjadi beberapa pemberontakan yang dilakukan
para pembesar kerajaan yang tidak puas dengan kondisi pemerintahan. Keadaan ini
berlangsung terus bahkan hingga wafatnya Sunan PB I dan digantikan sang putra
dengan gelar Sunan Amangkurat IV (1719-1726).
Catatan
Belanda menunjukkan bahwa Amangkurat IV seperti seorang raja yang telah
ditinggalkan rakyatnya. Kerajaan sangat rapuh, potensi perpecahan dan
konflik intern merebak. Bahkan hingga wafatnya, sang raja pengganti
(Sunan PB II) mewarisi kerapuhan tersebut.
Sunan PB
II (1726-1749) memegang tampuk pemerintahan dalam usia muda belia, 16 tahun.
Hal itulah yang membuat sang bunda, Ratu Amangkurat IV yang mendukung VOC
melakukan intervensi pada pemerintahannya. Sementara itu patihnya, Danurejo
sangat anti VOC.
Sebagaimana
sang ayah yang mewarisi kondisi kerajaan tidak solid, Sunan PB II pun
dirongrong oleh hutang-hutang yang harus dibayarkan kepada VOC. Bahkan kerajaan
mengalami perang besar, yaitu pemberontakan orang-orang Cina yang semula
terjadi di Batavia (1740) kemudian merembet hingga Kartasura. Perang yang
dikenal sebagai Geger Pacina ini telah membuat sunan bersama gubernur pesisir
van Hohendorff harus melarikan diri ke Jawa Timur karena istana Mataram diduduki
kaum pemberontak.
Beruntung,
VOC dapat menyusun kekuatan dan berhasil menduduki kembali Kartasura tahun
1742. Namun kondisi istana yang sudah poranda tidak layak sebagai ibukota
kerajaan dan paham Jawa mengatakan bahwa istana yang sudah diduduki musuh,
tidak lagi suci sebagai ibukota. Dengan dukungan VOC, Sunan PB II membangun
istana baru. Desa Sala atau kemudian dikenal dengan Surakarta Hadiningrat
terpilih dari 3 alternatif yang diajukan dan sunan mulai mendiaminya pada
1745(1746). Arsitek pembangunan kraton adalah adik sunan, P. Mangkubumi
(kelak bergelar Sultan HB I).
Harga
mahal yang harus dibayar raja kepada VOC karena berhasil memadamkan perang
pacina adalah kesepakatan bahwa VOC memperoleh daerah pesisir, yaitu Madura,
Sumenep dan Pamekasan. Selain itu, VOC lah yang menentukan pejabat patih
Mataram serta penguasa pesisir.
Akibat
jatuhnya pesisir ke tangan VOC, para pejabat Mataram geram. Bermunculan para
pemberontak yang merongrong istana Surakarta Hadiningrat. Diantaranya yang
terkenal adalah pasukan Raden Mas Said (1746), keponakan raja. Untuk memadamkan
pemberontakan itu, sunan mengadakan sayembara berupa pemberian tanah Sokawati
bagi yang berhasil memadamkannya. Maka tampillah adik raja, P. Mangkubumi.
Dengan kemampuannya mengatur strategi perang dan penguasaan medan yang jitu,
akhirnya gerakan Mas Said dapat ditumpas. Namun sunan mengampuni keponakannya
itu.
Masalah
timbul, ketika dalam pertemuan agung kerajaan, langkah sunan hendak menyerahkan
hadiah tanah Sokawati kepada P. Mangkubumi dihalangi oleh patihnya, Pringgalaya
dan gubernur van Imhoff. Menurut gubernur VOC tersebut, Mangkubumi tidak layak
mendapat hadiah 4000 cacah. Seakan-akan hendak menandingi kekuasaan raja.
P.
Mangkubumi kecewa, dipermalukan dihadapan umum oleh van Imhoff. Maka 19 Mei
1746, beliau berontak pada VOC , keluar dari Surakarta, lalu mendiami Sokawati
dengan kekuatan 2500 kavaleri (pasukan berkuda) serta 13000 anak buah dan
punggawa yang mendukungnya. Beliau melancarkan serangan kepada VOC di Grobogan,
Juana, Demak, Jipang (Bojonegoro). Pasukannya bertambah kuat dengan
bergabungnya RM. Said, sang keponakan yang sempat ditundukkannya. Persatuan
paman dan keponakan ini bahkan hampir menguasai istana Surakarta (1748).
Kondisi
kerajaan yang tidak stabil membuat Sunan PB II jatuh sakit. Seakan sudah pasrah
dengan kerajaannya yang tidak solid, beliau menyerahkan Mataram kepada gubernur
Baron von Hohendorff (11 Desember 1749). Inilah kesalahan terbesar yang
dilakukan raja. Keputusan tersebut menyulut P. Mangkubumi untuk bergerak, agar
dapat menarik kembali kerajaan tetap dalam pangkuan dinasti Mataram. Beliau
mengangkat dirinya sebagai Sunan Pakubuwana di desa Bering, Yogyakarta (12 des
1749). Tindakan ini sebagai langkah mendahului keponakannya (putra mahkota PB
II yang baru 16 tahun), yang akan dinaikkan tahta oleh VOC sebagai Sunan PB
III.
Inilah
babak baru periode kerajaan Mataram terbagi dua. P. Mangkubumi sebagai raja
didampingi RM. Said sebagai patihnya. Kedua tokoh ini merupakan dwi tunggal
kekuatan yang sulit ditembus VOC maupun Surakarta Hadiningrat dibawah PB III.
Sayang persekutuan sultan dan patihnya yang juga merupakan menantu, akhirnya
pecah di tahun 1753 akibat benturan konflik pribadi soal tahta Mataram yang
masih dipegang Sunan PB III.
VOC yang
sudah lelah dengan panjangnya peperangan, mulai menempuh jalur perundingan.
Bahkan RM. Said pernah menulis surat ke VOC bersedia berunding dengan syarat
diangkat sebagai sunan. Rupanya VOC tidak mengindahkannya, namun melirik pada
P. Mangkubumi. VOC mendekatinya bahkan mengganti pejabatnya yang tidak disukai
P. Mangkubumi dalam upaya perundingan, yaitu van Hohendorff. VOC
menggantikannya dengan Nicolaas Hartingh. Seorang Belanda yang sangat mengerti
tata krama Jawa, pribadi yang lebih disukai P. Mangkubumi. Dalam hal ini
Hohendorff sadar diri, ia tidak akan bisa kontak dengan Mangkubumi dan
hal tersebut sangat merugikan VOC. Selain itu, citranya sudah buruk di
Surakarta. Oleh karena itu pengunduran diri Hohendorff merupakan langkah maju
bagi VOC guna membuka perundingan dengan P. Mangkubumi.
Kesepakatan
tercapai melalui Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). Menyatakan
Mataram dibagi dua. Sunan PB III tetap bertahta di Surakarta Hadiningrat dengan
kekuasaan meliputi : Ponorogo, Kediri, Banyumas. P. Mangkubumi bertahta di desa
Bering yang lebih dikenal dengan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan wilayah
meliputi Grobogan, Kertasana, Jipang, Japan, Madiun. Sementara Pacitan dibagi
untuk keduanya, termasuk Kotagede dan makam Kerajaan Imogiri.
Sunan PB
III yang tidak diikutkan dalam perundingan tersebut tidak dapat berbuat banyak,
hanya bisa menerimanya. Sementara itu, RM. Said semakin kecewa karena tidak
mendapatkan kekuasaan. Oleh karena itu dirinya semakin gencar melakukan
perlawanan baik kepada Sultan HB I, Sunan PB III, dan VOC.
Merasa
tidak mampu menanganinya, VOC pun menawarkan jalan damai, melalui perundingan
Salatiga (1757). Dalam perundingan tersebut Mas Said menyatakan kesetiaannya
pada raja Surakarta Hadiningrat dan VOC. Sunan PB III memberikan tanah 4000
cacah dengan wilayah meliputi Nglaroh, Karanganyar, Wonogiri. Sementara, Sultan
HB I tidak memberikan apa-apa. Kemudian RM. Said dinobatkan sebagai adipati
Mangkunegara I. Kerajaannya bernama Mangkunegaran.
Demikianlah
kerajaan Mataram resmi terbagi dalam 3 kekuasaan yang diperintah Sunan PB III,
Sultan HB I, dan Mangkunegara I. Konflik antar pangeran mulai mereda, keamanan
relatif stabil. Namun dalam kedua perundingan yang telah disepakati tersebut
tidak dicantumkan hal pengganti tahta. Oleh karena itu masih terbuka peluang
untuk menyatukan tahta Mataram. MN I berharap akan tahta Surakarta. Oleh karena
itu, putranya (Prabu Widjojo) dinikahkan dengan putri PB III, GKR Alit.
Meskipun dari perkawinan tersebut lahir seorang putra, Namun harapan MN I
pupus, karena PB III kemudian mempunyai putra mahkota. Kelak putra Ratu
Alit dan Prabu Widjojo bertahta sebagai MN II.
Demikian
pula upaya Mas Said menikah dengan GKR Bendara, putri sulung HB I. Sayang
sang putri menceraikannya (1763) yang kemudian menikah dengan P. Diponegara
(dari Yogyakarta). Oleh karena itu, terputuslah harapan Mangkunegara untuk
merajut tahta Mataram dalam satu kekuasaan tunggal. Bagaimanapun juga penyatuan
Mataram akan merumitkan VOC karena sukar mengendalikan satu kekuatan besar di
Jawa. Dengan terbagi-baginya kerajaan, maka akan mudah bagi VOC menancapkan
hegemoni dan superiornya di Tanah Jawa.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah keterangan tentang Kerajaan Mataram Islam yang
dapat kami buat. Semoga dengan selesainya karya ini dapat membantu
berlangsungya proses belajar mengajar di sekolah khususnya pembelajaran di
kelas XI materi Kerajaan Islam Indonesia. Karya ini tentulah masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan krityik sangatlah kami butuhkan demi
kesempurnaan untuk tugas yang aka datang.
DAFTAR PUSTAKA